Halo semua,
Kali ini gw mau berbagi cerita tentang pengalaman spiritual gw beberapa waktu belakangan ini. Tenang aja gw bukan abis bertapa dan kesurupan. Hehehe..
Bulan April lalu, tepatnya tanggal 2 -4 April 2015 gw dan beberapa temen kampus pergi naik gunung ke Cikuray di Garut. Tanggal itu merupakan pekan suci buat umat Katholik, rasanya bodoh banget kalo gw malah gak ke gereja. Tapi yang gw pilih adalah pilihan bodoh itu, bukan tanpa alasan gw akhirnya memutuskan demikian.
Sabtu tanggal 28 Maret gw diajak temen untuk ikut, lalu gw gak bilang bisa ikut atau nggak. Baru di hari minggu tanggal 29 Maret, saat selesai misa gw gak langsung pulang. Saat itu gw duduk menatapi langit-langit gereja sambil merenung gw berucap dalam hati, “Kalau memang Tuhan hanya ada di Gereja tentu gak akan banyak yang bisa dilakukan Tuhan terhadap umatnya. Di sekolah, di Kampus, di Kantor pasti ada Tuhan, apalagi di Gunung.” Kalau kita sedikit ingat-ingat pasti kita akan menemui banyak orang-orang besar yang ke Gunung untuk berdoa, bahkan Yesus-pun ke gunung.
Hanya bermodalkan pemikiran demikian gw ambil keputusan untuk ikut naik gunung. Motivasi gw sederhana, gw mau merasakan pedihnya hari Jum’at Agung. Selama ini gw hanya bisa terharu dan bersedih ketika melihat Tablo Jalan Salib di geraja ataupun nonton film Passion Of The Christ yang hampir tiap tahun pasti di putar di tv.
Meskipun banyak teman yang menyindir, tapi gw gak ambil pusing karena yang gw lakukan adalah upaya untuk bertemu Tuhan.
Ini adalah pendakian pertama gw dan gw baru tau belakangan dari temen gw bahwa medan pendakian gunung Cikuray adalah salah satu yang tersulit.
Selama pendakian pelan tapi pasti menyadari keberadaan Tuhan disana. Mulai dari alam yang indah, cuaca yang cerah dan yang paling istimewa adalah ketika bertemu sesama pendaki. Walau tidak saling kenal, mereka dengan ramahnya menyapa dan menawarkan bantuan kepada gw saat kesulitan menaiki dinding-dinding jalur pendakian. Mustahil mereka melakukan itu semua tanpa campur tangan Tuhan, apalagi ditengan perjalanan gw terpisah dari kelompok gw. Dari sana gw memahami bahwa sesulit apapun masalah kita pasti akan ada perpanjangan tangan-tangan Tuhan yang datang membantu. Mereka menolong gw tanpa bertanya darimana gw berasal, apa suku gw dan apa agama gw. Mereka menolong begitu saja, sama seperti Tuhan Yesus yang mengasihi kita, tanpa memandang seberapa besar dosa yang sudah kita perbuat.
Dari pengalaman ini gw semakin yakin bahwa Tuhan ada dimana-mana.
Beberapa hari setelah pendakian ke Cikuray selesai kaka gw menginformasikan ada Misa Gunung yang diadakan oleh Kelompok Karyawan Muda Katholik (KKMK) Gereja Santo Matius. Mendengar acara naik gunung gw semangat banget untuk ikutan, tapi sejenak gw berpikir mengingat penyelenggaranya adalah pemuda gereja. Gw gak terlalu tertarik jika harus bergabung dengan organisasi atau perkumpulan yang berbau gereja. Penyebabnya adalah ketika gw kuliah gw sempat berdebat dengan salah seorang anggota Kelompok Mahasiswa Katholik (KMK) tentang kutipan-kutipan Kitab Suci. Lalu di lain kesempatan gw juga bertemu dengan pengurus lingkungan, saat kami sedang ngobrol beliau terus-menerus mengait-ngaitkan kebobrokan negri ini karena dipimpin oleh orang yang tidak memahami nilai-nilai ke-Katholik-an. Dari situ gw langsung menggeneralisir bahwa orang-orang yang ikut organisasi keagamaan cenderung ofensif dan memandang orang lain bodoh. Bagi gw kitab suci tidak untuk diperdebatkan, maka gw putuskan untuk meninggalkan dan tidak mau terlibat lagi dengan orang-orang macam itu.
Lanjut lagi ke Misa Gunung, singkat cerita gw putuskan untuk ikut, tapi gw tidak mau ikut terlibat dalam kegiatan pemuda. Kemudian entah bagaimana tiba-tiba aja Ka Tety menawarkan gw untuk gabung di grup Whatsapp KKMK. Gw awalnya menolak, tapi karena perasaan gak enak akhirnya gw mau. Seperti yang gw duga sebelumnya grup ini pasti akan tampil religius. Dalam sehari entah ada berapa kali kata-kata bijak dan doa-doa dibagikan dalam grup ini. Jenuh sekali rasanya.. Bukan, gw bukan orang yang benci dengan hal-hal seperti itu, karena gw pun sebenarnya sering melakukan hal yang sama di media sosial.
Persepsi gw tentang kelompok ini berangsur berubah, terutama ketika gw coba mengangkat kasus Mary Jane. Dari sana gw bisa paham bahwa kelompok ini adalah kelompok yang pemikirannya luas, tidak berfokus pada segelintir ide saja. Mereka demokratis, mereka kritis dan ide mereka taktis.
2 minggu menjelang pelaksanaan Misa Gunung, kami berkumpul untuk technical meeting dan pelatihan dasar, karena sebagian besar dari peserta belum pernah naik gunung. Menyenangkan sekali ikut technical meeting ini karena mentor menyajikan dengan sangat jelas. Saking asiknya ikut TM ini gw sampai merelakan membatalkan permintaan mengisi acara di pernikahan temen. Kebetulan waktu itu hujan deras, jadi masih ada alasan untuk membatalkan acara itu. Heheh..
Tanggal 14 Mei 2015, Hari H tiba.
Misa Gunung di Gunung Gede akan segera kami lakukan. Kami berangkat dengan 2 mobil tronton. Awalnya gw sempat khawatir bakal bengong sepanjang perjalanan, karena baru sedikit sekali yang gw kenal dan tau namanya. Tapi ternyata gak sampai 15 menit sudah banyak celetukan-celetukan segar dari peserta. Sepanjang perjalanan banyak sekali tawa bertebaran, sampai-sampai suara jadi serak
Ditempat penginapanpun demikian kami semua larut dalam candaan yang kadang cukup sadis, tapi kami semua tertawa lepas tanpa ada yang merasa tersinggung. Aneh sekali kalau diingat-ingat karena gw belom tau nama mereka satu persatu tapi bisa bercanda sekocak itu.
Mereka juga orang-orang yang terbuka dengan masukan-masukan. Waktu itu gw coba membagikan trik menghangatkan badan untuk menghindari diri dari hipotermia. Tadinya mau pake hipnotis, tapi suasananya terlalu rame, khawatir gak bisa fokus. Akhirnya pake teknik pernafasan aja.
Tanggal 15 Mei 2015, Hari pendakian dimulai.
Kami semua memulai pendakian sesuai dengan kelompok yang sudah ditentukan. Di kelompok gw ada Martin, Angel, Stephanie, Josua, Nando, Hans dan Gw sendiri. Rencana awalnya adalah Hans jadi leader dan gw yang jadi sweeper, tapi dalam perjalanannya kami ternyata sering terpisah, tapi untungnya masih ada kelompok lain yang bisa beriringan selama pendakian. Petaka terjadi saat kami beristirahat di Pos 3, kaki kanan cedera dan gak bisa ditekuk penuh. Cedera yang udah lama gw punya sejak beberapa tahun lalu dan terakhir kambuh saat gw sedang mendaki Cikuray.
Sakit banget rasanya, tapi perjalanan harus diselesaikan. Disinilah gw mulai kembali merasakan kehadiran Tuhan. Gw berujar dalam hati,
“Tuhan, batas kemampuanku sudah hampir habis, beri aku pertolonganmu ya Tuhan. Apapun itu.”
Tak lama setelah berujar demikian beberapa teman mulai menyadari ada yang aneh dengan langkah gw, merekapun menolong. Ya, benar gw selalu berusaha tampak baik-baik saja. Semua kemampuan fisik dan pengetahuan gw tidak cukup untuk menuntaskan pendakian ini. Beruntung ada mereka yang selalu mengulurkan tangannya, meneriakan semangat dan menunggu kaki ini sedikit pulih untuk langkah-langkah kecil ke atas.
Sampai di Surya Kencana, kaki ini seperti terselamatkan karena medannya yang datar-datar saja. Saat itu gw ditemani Mimi untuk menuju camp yang lokasinya dekat dengan sumber air. Mimi adalah salah satu dari tim medis yang geraknya sigap. Dia selalu mencoba membantu peserta yang keram ataupun kelelahan, walaupun ternyata dia gak ngerti cara memijat bagian-bagian yang cedera. Heheh..
Pukul 21.00 hampir semua peserta sudah masuk tenda untuk beristirahat. Kebetulan waktu itu hujan turun rintik-rintik. Jam 00.30 gw kebangun karena ada suara keras dari seoarng pria bersajak rindu di luar tenda. Mas Edy berusaha mengaggumi angkasa dengan untaian kata-kata romantis sembari mengingat sang rindu. Ini orang reseh banget ganggu tidur orang hahaha.. Pokoknya sejak itu gw gak bisa tidur dengan tenang. hahaha
Keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede, sekitar 1 jam waktu yang kami butuhkan untuk tiba dipuncak. Gak lama kemudian matahari mulai mengintip malu-malu menyapa pendaki. Dia menawarkan cahaya-cahaya jingganya sedikit demi sedikit sampai kami puas.
Setelah semua janji-janji keindahan puncak kami lahap, kamipun turun. Baru beberapa langkah kaki kanan dan kiri gw mendadak sakit luar biasa. Rasa sakit seperti ini terakhir kali gw rasakan waktu gw abis lari maraton. Karena kaki hampir sama sekali gak bisa diandalin untuk menuruni puncak gunung maka gw bergerak kayak orang utan. Tangan kanan dan kiri gw bergantian meraih batang-batang kayu dipinggiran jalur pendakian, sedangkan kaki hanya pasrah mengikuti arah tangan meraih batang-batang pohon. Sampai akhirnya gw benar-benar jadi yang paling belakang karena lambatnya. Beruntung masih ada Mbak Yeni & Mas Byan yang sabar memantau dan menolong gw. Mereka juga sangat membantu gw dalam menjaga semangat dengan cara terus mengajak gw ngobrol sampai akhirnya gw bisa memijakkan kaki di tanah datar Surya Kencana.
Setelah berkemas-kemas kami memulai Misa Gunung yang dipimpin oleh Romo Alfons. Ini adalah pengalaman pertama gw mengikuti misa di gunung. Keren banget rasanya bisa misa sambil merasakan semua elemen alam. Membaur bersama saudara seiman, meresapi kehadiran Sang Khalik dalam hati masing-masing. Misa yang rasanya gak akan bisa gw lupain seumur hidup gw. Kapan lagi misa bisa pake kaca mata item dan muka ditabrak-tabrak angin hahaha..
Selesai misa kami bersiap untuk turun gunung. Disinilah kekhawatiran terbesar gw muncul. Ketika naik menuju Surya Kencana, hanya kaki kanan saja yang cedera, sedangkan saat akan turun kondisinya lebih parah, dua kaki gw udah payah. Untuk sekedar melangkah normal aja gw harus menahan sakit, apalagi harus menopang berat badan saat memijaki turunan gunung ini. Atas seizin Mas Yoyon gw boleh pinjem trekking pole punyanya. Alat ini sangat membantu untuk menjaga keseimbangan saat melangkah, berasa punya 3 kaki.
Karena besarnya rasa kasih tim medis, gw didampingi 3 orang sekaligus untuk menuruni gunung ini. Ada Anni, Else dan Mimi yang langkahnya selalu mengawasi gw. Selain itu juga ada Mbak Yeni, Paul M dan Mas Byan yang menjadi sweeper. Berkali-kali gw harus meringis kesakitan karena salah landing akibat dari kaki yang memang udah gak bisa ditekuk sempurna.
Karena irama langkah yang makin melambat akhirnya tiga tim medis itu maju duluan karena masih banyak yang butuh bantuan di depan sana. Tinggallah kami berempat dibarisan paling belakang sampai hari mulai gelap. Paul M selalu berusaha mengulurkan tangannya untuk membantu, tapi gw selalu menolak karena gw yakin masih bisa dan karena dia juga udah kesakitan jari-jari kakinya. Hal yang membuat gw masih bertahan untuk terus melangkah adalah watak gw yang gak mau nyerah. Itu adalah berkat terbesar dari Tuhan yang gw miliki. Lalu seolah Tuhan tidak hentinya memberi pertolongan, Ia kirimkan Paul dan Wawan untuk membantu kami menuju pos penginapan.
Sampai di penginapan kami semua segera berkemas untuk pulang menuju Gereja Santo Matius Bintaro.
Dari kejadian ini gw kembali menemukan Tuhan dalam hati dan tindakan temen-temen di KKMK. Kemurahan hati untuk menolong, kemurahan hati untuk bersabar dan setia kawan.
Sepekan berlalu setelah Misa Gunung, tersiarlah rencana untuk Napak Tilas ke-2 di tanggal 30 Mei 2015 sebagai pentup bulan Maria. Napak Tilas ini mengambil rute jalan kaki dari Gereja Santo Matius Bintaro sampai Gereja Katedral Jakarta dengan jarak total 26 Km. Awalnya gw gak bisa ikut karena udah berencana naik gunung sama temen-temen kantor dan kalaupun batal naik gunung sudah ada request dari temen untuk ngisi acara di pernikahannya.
Ada perasaan ingin terus ikut semua kegiatan KKMK yang waktu dan tempatnya bisa gw jangkau. KKMK juga sedang menggiatkan senam Zumba Dance yang dilaksanakan tiap sabtu jam 7 pagi. Sayangnya gw gak bisa ikut karena memang sabtu juga kerja. Lalu ada juga badminton yang lewat bantuan Romo Tyo kami bisa menggunakan hall sekolah Ricci II.
Lewat grup Whatsapp kami semua berkomunikasi untuk segala kegiatan-kegiatan yang akan kami lakukan, termasuk ketika akan mengadakan doa Rosario bersama. Hmmm… udah lama banget gw gak ikut doa Rosario bareng dimana gw bisa mendapat giliran membacakan doa Salam Maria. Kalo gak salah tahun 2012 gw terakhir kali ikut doa Rosario bareng kayak gini. Tahun lalu gw masih ikut doa Rosario tapi massal di Gereja Santo Thomas Kelapa Dua, sebelum misa di mulai. Makanya ketika Satrio mengajak, gw pastikan gw ikut dan batalkan semua orderan sketsa.
29 Mei 2015, Kemarin saat Rosario Bareng gw udah ngeprint tata cara doa Rosario. Mungkin kemarin temen-temen ada yang liat gw masih terus menerus liat kertas saat doa Rosario berlangsung, maaf karena gw memang bener-bener gak inget urutannya. Ampuni aku ya Tuhan. Heheh..
30 Mei 2015, Napak Tilas
Gw sebelumnya bilang akan mengusahakan untuk bisa ikut, gw akan kejar waktunya supaya bisa sempat join. Ternyata gayung bersambut, konsep acara pernikahan temen dimodifikasi, untuk hiburan dilangsungkan menjelang siang hari, jadi gw gak harus berpartisipasi karena gw masih kerja di kantor. Ketika gw datengpun hiburannya udah hiburan tradisional. Gw langsung ngabarin Adji untuk bisa ikut Napak Tilas.
Kami semua ngumpul jam 21.00 di sekolah Ricci II, lalu memulai perjalanan jam 21.21, rute perjalanan yang dipilih mirip dengan rute angkot dengan alasan keamanan seluruh peserta. Kami dibagi kedalam 4 kelompok, gw tergabung dalam kelompok 3 dengan ketuanya adalah Fia.
Beberapa panitia tidak ikut Napak Tilas karena bertugas menjadi koordinator rute, konsumsi dan dokumentasi. Salut buat konsumsi yang gak habis-habis, jangan-jangan ada sentuhan tangan Tuhan kayak pas Yesus melakukan mujizatnya terhadap 2 ikan dan 5 roti hahaha..
Diawal perjalanan gw lancar-lancar aja dan kecepatan gw juga cukup stabil, tapi di sepertiga akhir perjalanan gw lagi-lagi cedera, kali ini ditelapak kiri, alhasil gw harus menyelesaikan perjalanan dengan terseok-seok. Lagi-lagi kesetiakawanan anggota kelompok sangat terlihat disini. Mereka selalu menunggu gw yang berkali-kali harus meregangkan dan meluruskan kaki. Meskipun harus jalan terpincang-pincang Puji Tuhan gw masih bisa sampai di Gereja Katedral dengan selamat. Setelah semua kelompok tiba, acara dilanjutkan dengan doa Rosario bersama sebelum kami pulang dengan metro mini yang rasanya seperti Alphard hahaha..
Next, kita akan mengadakan operasi bersih (opsih) tapi dengan konsep yang tidak membuat KKMK hanya menjadi petugas kebersihan. Semoga bisa terlaksana.
Mumpung masih bertugas di Jakarta gw akan coba untuk bisa mengikuti kegiatan-kegiatan KKMK. Syukur-syukur bisa berkontribusi lebih..
Terima kasih Tuhan untuk semua kebaikanMu mengirimkan tangan-tangan kecil untuk mengajakku masuk komunitas yang baik ini.
Terima kasih Romo Alfons untuk semua khotbah dan teladan manusiawinya. Saya baru tau seorang Romo-pun bisa luwes bergabung dengan anak muda. Hehe..
Terima kasih untuk Mimi, Else dan Anni yang selalu menghibur di saat kondisi sudah serba payah, aku izinin kalian manggil “Aim” sampai kapanpun kalian suka hahaha..
Terima kasih Mas Byan, Mbak Yeni, Mas Wawan, Paul, dan Paul M yang sudah bersedia menjadi sweeper di masa-masa kritis.
Terima Kasih Mas Kelik, Mas Miko, Mas Edy dan Satrio yang udah ngasih banyak ilmu hiking
Terima Kasih Adji dan Ka Tety yang udah mefasilitasi untuk gabung di KKMK
Terima kasih Mas Yoyon yang bersedia minjemin trekking pole-nya
Terima kasih kelompok 2 hiking (Hans, Martin, Angel, Stephanie, Josua dan Nando) yang terpaksa direpotin selama pendakian.
Terima kasih untuk Ka Josephine yang udah nyediain konsumsi selama Napak Tilas episode 2.
Dan terima kasih buat semua anggota KKMK yang gak disebut namanya, bisa puluhan lembar kalo semuanya ditulis.
Terima kasih sudah mau menerima gw dalam komunitas baik dan koplak ini, kalian adalah perpanjangan tangan Tuhan yang sedang membantu gw untuk mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Semoga kita segera dipisahkan karena pernikahan hahaha..